fbpx ...

Geliat kakao yang meredup di tengah permintaan yang tinggi

Kakao saat ini masih menjadi primadona dalam Investasi di bidang pertanian, dengan tingginya permintaan di industri hilir, namun tidak seperti komoditas lain yang bergulat dengan masalah kelebihan pasokan dan permintaan yang rendah akibat perlambatan ekonomi global, industri kakao Indonesia mengalami kekurangan pasokan.
hal ini disebabkan karena berbagai kondisi di lapangan yang tidak bisa diantisipasi terutama, tanaman yang sudah menua.

Ketika produksi kakao Indonesia mencapai puncaknya, investor dalam dan luar negeri banyak berinvestasi di industri pengolahan dengan membangun fasilitas pengolahan kakao.
Sayangnya, dalam situasi seperti ini, pemerintah dan DPR mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menghambat petani dan pelaku industri kakao untuk melakukan peremajaan tanaman, karena berbagai peraturan dan regulasi menghambat pengembangan industri pengolahan kakao nasional di Indonesia.

Penurunan produksi kakao

Indonesia merupakan penghasil kakao utama dan saat ini menempati urutan ketiga di dunia dalam hal produksi biji kakao di tahun 2015 tetapi saat ini sudah menurun menjadi urutan ke enam . Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi biji kakao Indonesia pada tahun 1990 hanya 142.347 ton. Angka tersebut meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun yang mencapai puncaknya pada tahun 2009 sebesar 849.875 ton.

Namun pada tahun 2010, produksi biji kakao Indonesia mulai menurun dan turun menjadi 575.000 ton, dan tren penurunan tersebut berlanjut hingga tahun 2015, ketika produksi biji kakao Indonesia turun menjadi 400.000 ton. Adanya program peremajaan kakao yang dilaksanakan oleh pemerintah mendorong pertumbuhan kakao kembali ke angka 767.280 ton di tahun 2018 dan kemudian turun lagi di tahun 2020 menjadi 739.483 ton.

Produksi kakao yang tidak stabil dan cenderung turun terutama disebabkan oleh umur tanaman kakao yang semakin tua sehingga menurunkan produktivitas. Selain itu, kualitas kakao Indonesia juga dirugikan karena kandungan kadmiumnya yang tinggi. Menurut Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), produksi biji kakao nasional tahun 2020 hanya 217 kilogram (kg) per hektar (ha) padahal potensi kakao Indonesia adalah 2.000 kg/ha. Ini merupakan penurunan tajam dibandingkan dengan tingkat produktivitas yang tercatat pada tahun-tahun sebelumnya yang mencapai 500 kg per hektar.

Ada sejumlah kendala yang dihadapi upaya peremajaan tanaman di Indonesia. Salah satunya adalah 94% perkebunan kakao negara dimiliki oleh petani kecil dengan dana terbatas untuk melakukan investasi signifikan di perkebunan mereka. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan dana negara untuk membantu para petani meremajakan tanaman mereka melalui Gerakan Kakao Nasional. Sayangnya, hasil dari inisiatif ini terbatas karena kurangnya pendampingan bagi petani setelah benih dan pupuk baru didistribusikan. Faktor lain yang menyebabkan penurunan produksi adalah berkurangnya luas areal yang digunakan untuk penanaman kakao dengan banyaknya petani kakao yang berhenti menanam kakao setelah pemerintah memberlakukan pajak ekspor pada bulan April 2010 untuk melindungi industri kakao nasional, hal ini berdampak pada profitabilitas banyak pihak, terutama petani kecil.

Ekspor biji kakao Indonesia mengalami penurunan dari 380,8 ribu ton pada tahun 2018 menjadi 358,4 ribu ton pada tahun 2019. Selain itu, jumlah eksportir biji kakao juga menurun sekitar 60 menjadi tiga eksportir. Eksportir yang tersisa ini bukanlah pedagang melainkan perwakilan dari perusahaan yang memasok biji kakao ke fasilitas mereka di luar negeri. Penurunan ekspor kakao Indonesia telah diikuti oleh penurunan produksi biji kakao, karena banyak petani lebih memilih menjual hasil panennya kepada eksportir yang menawarkan harga lebih tinggi daripada industri kakao lokal.

Lima besar negara tujuan ekspor biji kakao Indonesia tahun 2019 adalah Malaysia (22,48%), Amerika Serikat (17.23%), India (8.05%), China (6.58%), dan Belanda (5.65%). Kandungan kadmiumnya yang relatif tinggi membuat biji kakaonya tidak bisa masuk ke Uni Eropa. Pada 2015, harga kakao edel adalah $ 7 USD atau hampir 100.000 IDR per kg, sedangkan harga kakao lokal adalah $ 3 USD atau sekitar Rp 42.000 per kg. Sementara harga Kakao di tingkat petani sekitar Rp 28.000 per kg.

Industri bermasalah

Ketika produksi kakao Indonesia mencapai puncaknya, investor dalam dan luar negeri banyak berinvestasi di industri pengolahan dengan membangun fasilitas pengolahan kakao. Pada 2015, terdapat 21 pabrik pengolahan kakao yang beroperasi di Indonesia dengan kapasitas produksi terpasang antara 850.000 ton hingga 945.000 ton per tahun.

Didukung oleh industri pengolahan yang kuat, ekspor kakao olahan dalam negeri relatif stabil dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, ekspor kakao olahan dari Indonesia mencapai 343,6 ribu ton. Pada 2019, angkanya meningkat menjadi 320.5 ribu ton atau turun 6,8%. Produk yang paling banyak diekspor adalah cocoa butter 144.9 ribu ton, cacao powder kakao 87.7 ton, kakao pasta 49,8 ribu ton dan biji kakao 30,8 ribu ton. Sekitar 70% dari total produk kakao olahan Indonesia diekspor. Produk cocoa butter diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat, sedangkan cocoa powder diekspor ke Asia, Timur Tengah, Rusia, Amerika Latin, dan lain-lain.

Pada tahun 2019, kakao menyumbang $ 1,19 miliar untuk cadangan devisa Indonesia, dan berpotensi untuk tumbuh lebih jauh jika petani Indonesia dapat terpikat kembali untuk membudidayakan tanaman dan meningkatkan produksi. Total penurunan kapasitas terpasang industri setara dengan 385.000 ton. Saat ini, kapasitas terpasang industri yang tersisa adalah 560.000 ton dan tinggal delapan perusahaan; Beberapa pelaku telah mencoba menyelesaikan masalah pasokan bahan baku dengan cara mengimpor kakao dari negara penghasil kakao lain seperti Pantai Gading dan Ghana, namun hal tersebut belum dapat menyelesaikan masalah di dalam negeri.

Pada 2018, sekitar 288.935 ton biji kakao diimpor ke Indonesia. Kemudian meningkat menjadi 309.737 ton di tahun 2019. ini menandakan kebutuhan biji kakao untuk industrik kakao di Indonesia sangat tinggi.

Kendala tambahan yang menghambat ekspor kakao olahan dari Indonesia adalah diskriminasi pajak impor oleh Uni Eropa. UE memberlakukan pajak ekspor sebesar 4% hingga 6% untuk produk kakao olahan dari Indonesia, yang tidak berlaku untuk produk serupa yang diimpor dari Afrika.

Peluang investasi tetap terbuka

Terlepas dari berbagai kendala, industri kakao Indonesia tetap menarik dalam hal investasi, mengingat meningkatnya permintaan global dan lokal untuk produk kakao dan cokelat, karena penurunan produksi membuat sektor ini siap untuk investasi di hulu. Selain itu, pemerintahan Jokowi telah menetapkan target menjadikan Indonesia sebagai produsen kakao terbesar dunia pada tahun 2025. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah saat ini memberikan lagi stimulan dan bantuan ke petani untuk mengenjot produksi selain itu bantuan dan teknologi untuk meremajakan tanaman kakao yang sudah tua.
Sementara itu, di sektor hilir, peluang pasar domestik dan ekspor untuk produk kakao setengah jadi dan jadi cukup banyak. Konsumsi kakao Indonesia masih rendah dengan rata-rata 0,5 kg / kapita / tahun, jauh di bawah rata-rata konsumsi negara Asia lainnya seperti Singapura dan Malaysia yang mencapai 1 kg / kapita / tahun, dan negara-negara Eropa diatas 8 kg. / kapita / tahun. Namun, investasi di sektor pengolahan membutuhkan modal yang besar karena, tidak seperti kopi, teknologi pengolahan kakao membutuhkan modal yang besar. Selain itu, minimnya pasokan bahan baku akibat tingginya permintaan harus diperhitungkan. Oleh karena itu, investasi yang diarahkan ke seluruh rantai pasokan adalah satu-satunya cara untuk menjamin keberlanjutan perusahaan baru. Besarnya masalah tersebut tercermin dari minimnya investasi baru di industri kakao olahan dalam beberapa tahun terakhir dan bahkan penutupan 10 pelaku industri kecil pada periode yang sama. Oleh karena itu, sektor kakao Indonesia menawarkan imbalan manis, namun dengan harga yang tinggi.

Originally posted 2021-10-21 03:38:00.